Untuk memenuhi Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog yang batas pengumpulannya tinggal 2 jam lagi 😁, saya ingin mendokumentasikan beberapa opini tidak populer yang ternyata benar-benar tidak populer, soal sampah.
Mengubah sampah menjadi berkah
Masih teringat jelas bagaimana Ibu Sri Bebassari, salah satu legenda perbaikan sistem pengelolaan sampah di Indonesia, dengan suara khas berapi-apinya menjelaskan tentang bagaimana sampah seharusnya dianggap sebagai sesuatu yang bernilai. Menurut beliau, dan banyak ahli lainnya, sampah tidak seharusnya dilihat sebagai sesuatu yang menjijikkan dan harus dihindari. Sebaliknya, paradigma sampah perlu digeser sedikit menjadi sesuatu yang membawa berkah. Definisi sampah pun menjadi lebih luas dengan paradigma baru ini, bukan hanya residu yang tidak terpakai, tetapi sampah adalah segala sesuatu yang berada tidak pada tempatnya atau menimbulkan gangguan pada sekitarnya.
Ibu Sri Bebassari, legenda sampah Indonesia
Sedih sekali, kemarin beliau berpulang untuk selamanya
foto: greeners.co
Tumpukan daun kering di halaman belakang yang tidak mengganggu sudah bisa dikeluarkan dari kategori sampah. Sisa potongan sayur adalah sampah, tetapi ketika mereka dimanfaatkan kembali, bisa mengubah nasibnya. Bukan lagi sampah, tetapi berkah. Tetangga Mamah punya mobil mewah baru, tapi parkir sembarangan dan menyusahkan orang mau lewat, nah itu sampah, bukan barang mewah. Saya yakin Mamah punya contoh sampah pada banyak kasus lainnya 😄. Baru paham mengapa sampah dijadikan kata umpatan, sesederhana dan setepat itu ternyata cara penggunaannya.
Definisi sampah dari Ibu Sri Bebassari ini diadopsi oleh semakin banyak orang. Sependek pemahaman saya, maksudnya adalah untuk mendorong masyarakat untuk mau mengelola sampah, tidak hanya jijik lalu tidak mau ada sampah di dekatnya. Di tengah banyak orang sepakat dengan konsep ini, saya pribadi termasuk golongan yang malah jadi agak ngeri. Saya, seperti berjuta orang lainnya, juga masih takut dengan sampah. Meskipun bertahun-tahun mendapat rezeki melalui topik ini, tapi ketika melihat sampah sebagai berkah, yang bagi sebagian besar orang di Indonesia dimaknai sebagai pundi-pundi rupiah, akan menjadi sangat berbeda akhir ceritanya.
Langsung terbayang lagi cerita tentang mesin pengumpul botol plastik. Setiap memasukkan botol plastik, kita akan mendapatkan poin hadiah yang bisa dikumpulkan dan ditukar menjadi voucher belanja. Bukan hanya memasukkan botol bekas minumannya, ternyata banyak orang yang secara aktif mengumpulkan botol bekas, entah dari manapun. Pilihan lainnya adalah sengaja banyak-banyak minum minuman kemasan, agar punya banyak botol bekas. Memang betul, Indonesia itu lahan subur industri kreatif. Namanya orang Indonesia, ada aja idenya. Kalau sudah begini, bukan sobat pegadaian namanya, menyelesaikan masalah dengan masalah lainnya.
Soal menyerah memilah sampah
Sabar jangan emosi dulu yah, Mah. Saya juga masih mencoba memilah sampah. Apalagi kalau ingat tugas di kantor, dakwah soal pemilahan sampah. Rasanya hidup di dunia ini seperti bermuka dua. hahaha.
Mungkin beberapa Mamah merasakan kondisi sulit saat TPA Leuwi Gajah meledak dan longsor. Banyak TPA lainnya menuju ke nasib yang sama, mah. Karena kapasitasnya sudah tidak cukup lagi, tetapi selama masih ada manusia di bumi, tentu saja sampah terus saja dihasilkan. Untuk itulah sampah harus dihindari sejak dari sumbernya, dan disini peran Mamah sebagai CEO di rumah sangat diperlukan.
Kalau boleh unjuk suara dari hati yang terdalam, sejujurnya saya termasuk yang kurang beriman pada gerakkan memilah sampah. Apalagi setelah ditantang oleh client menghitung impact dari kegiatan memilah sampah yang saya anjurkan. Sungguh sulit jungkir balik sirkus, membuat angkanya menjadi terlihat signifikan. Siapa yang bilang memilah sampah itu mudah. Nooo. Tapi kan memilah sampah itu tidak ada biayanya. Siapa bilaaaaang. Justru effort terbesar, dan terempong dari membangun sistem pengelolaan sampah adalah bagian menggerakkan masyarakatnya. Sudah lah sulit, setelah memilah, ternyata masih ada ber-ratus ton sampah yang harus ditimbun di TPA setiap harinya mengalir dari rumah-rumah di seluruh kota. Bukan mengecilkan upaya kita, tapi memang kecil sih, Mah 💁.
Terlepas dari pro dan kontra-nya, cara pengelolahan sampah paling jitu, terutama untuk Indonesia (dengan keaneka ragaman industri kreatifnya), untuk saya adalah Insinerator.
Tentu saja cara ini harus dikelola dengan proper yah. Jangan jadi kayak tetangga sebrang komplek saya juga. Meskipun sama-sama pembakaran, yang bakar sampah di kebon sebelah ini bikin bengek. Insinerator seharusnya tidak. Dalam case ini, saya sepakat dengan netijen pengguna mesin botol plastik: memilah sampah untuk mencari berkah. Memilah yang bisa dimanfaatkan untuk menambah pemasukkan. Sisanya, langsung dibakar saja. Dengan operasional proper, sobat pegadaian bisa berkumpul, menyelesaikan masalah tanpa masalah.
Perlu berapa jenis tong sampah?
Sungguh menyulut emosi di jiwa kalau ingin buang sampah di tempatnya, tetapi yang ada di hadapan adalah deretan wadah menyerupai pelangi. Mejikuhibiniu. Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu. Belum lagi labelnya cuma berisi gambar saja, tanpa tulisan keterangan. Apalagi label daur ulang yang segitiga berpanah itu. Menurut saya, artinya adalah wadah untuk plastik atau material-material yang bisa didaur ulang. Pas dibuka, eh isinya sampah basah semua. Ternyata wadah itu untuk sampah organik. Lha, gimana sih.
Sudah lah bukan fans berat pemilahan sampah. Masih harus berjuang memikirkan penggolongan sampah, tentu saja bubar jalan.
Mejikuhibinibu-karena yang terakhir abu-abu, hahaha
sumber: mbizmarket
Saya selalu berpendapat, sepertinya tong sampah itu cukup ada 2 jenis pemilahan. Untuk material yang mungkin masih berguna dan untuk sampah yang sesungguhnya. Kalau untuk di rumah, boleh lah 3 wadah, karena sampah basah masih berpotensi untuk diselamatkan. Jadi ketika datang ke tempat sampah, cukup berpikir, yang mau saya buang ini betul-betul sampah, atau mungkin masih ada gunanya. Apalagi di tempat-tempat umum dengan jumlah sampah besar. Bayangkan apa yang akan terjadi kalau tong sampahnya ada 7. Wadah berlabel daur ulang, sudah pasti isinya mix, antara organik atau plastik, karena ada orang-orang seperti saya, maupun orang-orang berjenis pemikiran berbeda lainnya.
Mungkin akan lebih mudah kalau jenis tongnya hanya ada 2. Petugas sampah akan mengambil kantong berisi material masih berharga untuk diserahkan ke bandar selanjutnya. Lalu, sisanya, langsung menjadi santapan bergizi bagi insinerator.
Penutup
Begitulah mah, sekelumit cerita semi curcol soal pendapat saya yang tidak populer. Tentunya dihasilkan dari pemahaman saya yang masih minim juga. Kalau menurut Mamah bagaimana?