9/25/2025

Cuplikan Romantisme, sebelum terlupakan

Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog kali ini membuat saya kikuk. Memutar ide harus menuliskan apa dan mencoba meraba-raba, apakah saya mengerti-atau pernah berada dalam situasi Romantis. Mungkin pernah, tetapi terlalu malu untuk mengakui. Atau mungkin sering, tetapi saya tidak tahu kalau itu yang namanya romantis. Lebih tepatnya tidak terbiasa untuk menerima atau sebaliknya berperilaku romantis.



Untuk saya, romantisme adalah semburat oranye saat matahari tenggelam. Seperti menghentikan sejenak hiruk pikuk dan penat. Memutar angan, entah memikirkan apa. Selalu, otomatis terputar rentetan lagu Nugie di kepala saya.  


Romantisme, jeda sejenak di tengah merutuki jalanan macet di negeri orang

Situasi paling romantis yang saya sadari adalah ketika duduk menunggu kereta di Stasiun Bandung saat matahari terbenam. Bangunan stasiun yang tertimpa cahaya matahari senja. Udara sejuk dan pengamen yang menyanyikan lagu-lagu lawas. Orang lalu lalang. Perpisahan, dan pertemuan. Sangat sempurna menjadi scene kenangan bersama pacar jaman kuliah. Andaikan saya tahu romantisme ini lebih awal, mungkin saya akan lebih semangat mencari pacar sedari dini di kampus-hanya demi dibawa ke stasiun, duduk bersama menikmati matahari terbenam, dan tidak akan pusing menuliskan tantangan bulan ini 😜.

Apakah ini yang namanya romantis?

Berbicara romantisme, dalam secetek pemahaman saya selalu diasosiasikan dengan perlakuan seseorang kepada orang lainnya. Saat masih mahasiswa, seorang teman SMA yang kuliah di timur jauh ITB mengirimkan pesan singkat, ajakan nonton konser Orchestra ITB. Tanpa banyak berpikir, saya iyakan. Karena terbiasa pergi bergerombol bersama alumni SMA di ITB, saya ajak juga beberapa teman lainnya. Dengan kikuk mereka menjawab, tidak mau ikut. Ternyata, memang hanya saya dan dia yang pergi. Sudah disiapkan tiket, dijemput, dipinjami jaket-bingung juga, padahal saya tidak kedinginan. Ditanya dengan mimik khawatir apakah lapar setelah konser berakhir, dan dibawa ke tempat makan. Tentu saja kembali diantarkan pulang. 

Episode berikutnya


Di waktu lainnya, masih teman satu SMA, tetapi yang ini anak gerbang belakang, menawarkan untuk jalan-jalan. Lagi, karena memang sudah terbiasa pergi bergerombol, saya iya saja. Kamu atur dengan yang lain ya! begitu ringan, tanpa curiga. Tibalah hari H, ternyata dia datang dengan motor besarnya, dan tidak ada teman lainnya. Saya dibawa ke Dago Pakar, makan mie, hanya berdua saja. Susah payah dia mencegah saya membayar bill makanannya. Sempat bertemu dengan teman satu jurusannya di tempat makan. Entah mereka berbicara apa, tiba-tiba wajah teman saya memerah.😐.

Esok harinya, berlanjut dengan rentetan SMS: Rin lagi apa? Rin, sudah makan? Rin, sudah tidur? Rin, keran air di kosan aku jebol nih- sungguh tidak paham yang terakhir ini yang kirim berharap dijawab apa😳. 

Rentetan pesan tidak terbalas, atau berbalas dengan seadanya, hingga akhirnya hilang. Selang beberapa bulan, sebuah SMS meluncur di hari ulang tahun saya.  

Rin, selamat ulang tahun ya. Semoga doa ibu kamu biar kamu segera punya pacar bisa terkabul. Nggak apa-apa kan aku nggak bisa ke Bandung hari ini? 

Heran, kenapa harus ke Bandung? 

Hehehe, ya enggak apa-apa. Minggu depan kita ketemu ya.

Seminggu kemudian, di sore hari kerja, bertemulah kami di pinggir lapangan cinta. Dia meluangkan waktu cutinya, menemui saya ke Bandung. Senja, dengan semburat oranye matahari di dinding cc timur. Cukup lah memberikan setting romantis. 

Gimana Rin, kabarnya? aku udah mulai kerja nih sekarang. Udah mulai nyicil rumah juga loh, nih aku bawain. Dia menyodorkan kebab dan teh kotak.

Oh gitu? wah keren banget kamu udah kepikiran rumah segala.
 
Iya lah, kan harus nyiapin. Kalau kamu maunya gimana sih, Rin?

Aku? yaa nyari kerja yang bener lah. Kalau dapat beasiswa boleh juga sih sekolah lagi. 

Oh. Kalau kita kamu maunya gimana?

Kita? 😬

Sungguh susah payah saya menahan daging kebab menyembur. Detik berikutnya hanya menyesal kenapaaaa langsung saya makan. jangan-jangan udah dimasukin sesuatu-ramuan pelet misalnya.     

Ki.. kita.. kita ya gini sih.. em.. saya tercekat.

Aku maunya kita bareng. Dia menyambar cepat, memutuskan keraguan saya.

Bareng?

Iya, aku sama kamu. Kalau kamu masih ragu, boleh nggak kita coba dulu? Kali ini responnya jauh lebih cepat. Dia sadar betul yang diajak bicara plongah plongoh jadi lebih baik dia lebih agresif.

Kita bisa coba dulu. Kamu bisa lihat aku serius. Menurut aku, rasa itu bisa tumbuh kalau kita terus jalan bareng. Kalau boleh aku mau melewati ini sama kamu.  

Mau nggak, kamu jadi pacar aku? rentetan monolog meluncur, membuat saya makin terdiam.

Senja perlahan sirna, dan saya lega bahwa hari itu pun akan segera berakhir.

Penutup
 
Seharusnya, menurut pakem umum, inilah cuplikan -yang seharusnya terasa- romantis dalam hidup saya. Tetapi, setelah makin bertambah usia, dan hidup bersama keluarga saya, definisi romantis untuk saya sedikit bergeser. 

Suami yang tetap memegang erat janjinya pada ayah saya agar saya tetap bekerja, anak pertama yang dengan malu-malu dan gengsi bilang: Bubu kesayangan aku, aku sayang sekali bubu, atau anak kecil yang tiba-tiba datang menyodorkan payung helokitinya saat saya mau pergi dinas keluar kota: Bubu bawa payung ini buat bubu biar nggak kehujanan, terus biar bubu inget terus sama aku. 

Melebihi senja di Stasiun Bandung, inilah romantisme ala kini untuk saya   

8/24/2025

Kegendutan: bentuk penjajahan atau kurangnya kontrol diri

Bulan Agustus tahun ini berat sekali rasanya mengibarkan bendera merah putih. Betul, lemari berantakan selalu menjadi alibi utama. Namun, biasa, saya masih bersemangat 45 untuk menemukan lembaran bendera, tegopoh-gopoh mengeluarkan tiang bambu panjang atau apapun yang bisa menggantikannya, serta mengajak anak-anak ikut serta mengibarkan sang merah putih di depan rumah. Bulan ini cukup berbeda, kurang motivasi saja rasanya. Seperti terlalu banyak yang dirutuki melihat kondisi bangsa sendiri. Namun sebelum keluhan berlanjut, mari kita ikut Tantangan Mamah Gajah Ngeblog bertema Teknologi: Memerdekakan atau Menjajah

Semacam cek singkat, apakah memang kita saat ini terjajah, atau malah dipermudah, dan kondisi ini lah yang kita inginkan. Dari sekian banyak topik, saya coba mengambil cuplikan potret dari sisi kehadiran teknologi dalam penyediaan makanan.


Surga Makanan

Tak perlu diragukan lagi, Indonesia, dengan kekayaaan sumber daya alamnya menyuguhkan berbagai bahan makanan yang melimpah ruah. Tadinya saya pikir kondisi ini hanya berlaku bila kita tinggal di pedesaan. Bertani di sawah, atau dari kebun yang terbentang luas, ada berbagai macam sayur atau buah yang disediakan alam, dan tinggal kita ambil saja untuk memenuhi kebutuhan makanan kita. Ternyata jauh lebih mudah, Mah. Saya, tinggal di area pendukung kota Jakarta, dengan kepungan pabrik dan tanah secuplik, ternyata masih bisa merasakan kondisi memperoleh makanan alami dari lingkungan sekitar. 

Waktu pertama pindah ke rumah ini, kami menikmati puluhan buah pepaya manis dari pohon pepaya liar yang tumbuh di halaman belakang. Sepertinya tumbuh karena terbawa burung kalau dilihat dari deretan pohon yang sungguh tidak beraturan. Di depan dan samping rumah, berderet jejeran pohon singkong yang daunnya tak pernah habis diambil, hasil tetangga saya menancapkan batang singkong dengan tanpa upaya berlebih. Pisang kepok kuning pulen dari deretan pohon pisang yang ditanam dengan sekali tancap juga sering tersedia. Apalagi daun pepaya jepang yang manis karena baru dipetik pagi hari sebelum dimasak, jangan ditanya, selalu ada. Belum lagi batang pohon kelor yang tadinya hanya didirikan sebagai bagian dari para-para, malah tumbuh subur dan menyediakan stok daun kelor untuk bothok atau sayur bening setiap saat bagi keluarga kami. 

Sungguh nikmat mana lagi yang kau dustakan.

Pilihan Makanan yang Semakin Beragam

Kehadiran teknologi membuat pilihan makanan yang ada di Indonesia menjadi semakin beragam. Kalau dulu hanya ada gaplek, saat saya usia sekolah sudah ada yang namanya mi instan. Tidak perlu lagi kelaparan menunggu panen singkong, atau bergantung pada produksi manual gaplek. Cukup pergi ke warung terdekat, membuka bungkus plastik, dan dalam hitungan menit perut nyaman hangat terisi, sungguh kenikmatan yang haqiqi (harus ditulis tebal untuk menggambarkan sensasi nikmat yang dihadirkan i*domie).

Bila i*domie-meskipun sudah ditambah dengan telur dan pakcoy hijau untuk mengurangi rasa bersalah- dirasa kurang elegan dan kekinian, masih ada sereal berbagai rasa dalam bermacam bentuk kemasan. Disiram dengan susu yang sudah tersedia di dalam kotak multilayer: memastikan hasil perahan sapi ini bisa dinikmati seluruh Bangsa Indonesia tanpa harus banyak berusaha, antri ke Koperasi Unit Desa, apalagi harus dimulai dari memelihara sapi. Pilihan lainnya adalah memenuhi kebutuhan pangan dengan mengkombinasikan suguhan alam dan campuran teknologi: granola dengan potongan buah. 

Diluar itu, kombinasi tepung terigu tentu saja menjadi godaan tersendiri. Gorengan baru keluar dari wajan dengan minyak berkilau, atau pancake hangat dengan taburan topping yang menjadi andalan mamah ketika anak kicik sudah mulai eak eok malas sarapan nasi, sayur, dan telur ceplok.

sumber: www.pontianak.tribun.com

Hasilnya Kau Pilih Sendiri

Semenjak harus memasak Makan Pendamping Air Susu Ibu (MPASI), saya baru menyadari, bahwa kehadiran teknologi dalam penyediaan makanan bisa menjadi pisau bermata dua. Saya pikir tadinya, karena ada teknologi di bidang ini, kehidupan manusia menjadi lebih mudah. Terutama bagi orang-orang yang tinggal di Indonesia, atau dimana pun kekudetan terjadi, teknologi di bidang pangan bisa menjadi penyelemat bangsa. Ternyata ada pula sudut pandang lainnya.

Saya sangat berterima kasih dengan kehadiran teknologi dalam penyediaan makanan. Entah apa jadinya bila tidak ada teknologi susu formula. Anak saya yang bingung puting setelah perawatan sakit kuning seminggu setelah lahir mungkin akan tumbuh kurang gizi dengan berbagai komplikasi yang menyertainya bila saat itu hanya ada air susu ibu. Mungkin beras akan semakin langka bila tidak ada teknologi yang memungkinkan untuk mengolah gandum impor menjadi tepung. Mungkin kita tidak akan minum susu sapi lagi saat ini bila tidak ada teknologi kemasan ulta process

Contoh lainnya yang terbayangkan, sepertinya akan lebih banyak anak yang keracunan bila penyediaan makanan, apalagi dalam jumlah massal, tidak didukung intelegensi manusia yang memadai teknologi #eh.

Di sisi lain, kehadiran teknologi dalam penyediaan pangan ternyata bisa menjadi berbahaya ketika tidak digunakan dengan bijak. Sudah bukan hal baru lagi, dimana makanan kemasan dibanjuri dengan gula dan garam berlebih. Deretan nama asing senyawa kimia tersusun rapi mengisi bagian ingredients. Pengawet makanan, tentu saja tidak usah ditanya lagi. 

Dengan proses pengawetan bersuhu tinggi tentunya membuat kita tidak lagi bisa berbicara tentang kandungan gizi. Gizi fortifikasi dimasukkan kembali ke dalam material makanan yang sudah kopong akibat proses produksi itu, lagi-lagi dengan bantuan teknologi. Kandungan makanan menjadi lebih terkuantifikasi, begitu kata suami saya yang tukang bikin minuman kemasan. 

Kegendutan? jangan ditanya. Gempuran karbohidrat, garam, gula, dan pengawet makanan. Bukan hal baru mendengar beragam diabetes dan obesitas tidak hanya menyasar orang dewasa tetapi juga sudah merambah anak-anak.

Ketika kondisi seperti ini, memang kita tidak bisa hanya mengeluh lagi. Menyalahkan teknologi sebagai sumber penjajahan sepertinya sudah kurang cocok. Toh kita memanfaatkan juga teknologi tersebut. Pada akhirnya, akan kembali ke pilihan masing-masing. Apakah kita akan terjajah teknologi -dan jadi kegendutan-, atau kita memanfaatkan teknologi untuk memenuhi kebutuhanan makanan yang mendukung kesehatan.

Penutup 

Begitulah secuplik refleksi, agar selalu ingat tidak hanya terus merutuk. Karena sebetulnya yang diperlukan untuk bertahan di negeri konoha adalah kontrol diri.