5/17/2025

Sampah yang Tidak Populer

Mencoba menulis tentang opini tidak populer rasanya membawa saya kepada memori perdebatan di kantor tentang sampah. Hampir semua orang (paling tidak orang Indonesia, lah), tertarik dengan topik ini. Mungkin karena peduli pada bumi, dan pengalaman pribadi-terganggu oleh sampah, atau melihat sisi lain dari permasalahan umat manusia ini. 

Untuk memenuhi Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog yang batas pengumpulannya tinggal 2 jam lagi 😁, saya ingin mendokumentasikan beberapa opini tidak populer yang ternyata benar-benar tidak populer, soal sampah.


Mengubah sampah menjadi berkah

Masih teringat jelas bagaimana Ibu Sri Bebassari, salah satu legenda perbaikan sistem pengelolaan sampah di Indonesia, dengan suara khas berapi-apinya menjelaskan tentang bagaimana sampah seharusnya dianggap sebagai sesuatu yang bernilai. Menurut beliau, dan banyak ahli lainnya, sampah tidak seharusnya dilihat sebagai sesuatu yang menjijikkan dan harus dihindari. Sebaliknya, paradigma sampah perlu digeser sedikit menjadi sesuatu yang membawa berkah. Definisi sampah pun menjadi lebih luas dengan paradigma baru ini, bukan hanya residu yang tidak terpakai, tetapi sampah adalah segala sesuatu yang berada tidak pada tempatnya atau menimbulkan gangguan pada sekitarnya.

Ibu Sri Bebassari, legenda sampah Indonesia
Sedih sekali, kemarin beliau berpulang untuk selamanya
foto: greeners.co

Tumpukan daun kering di halaman belakang yang tidak mengganggu sudah bisa dikeluarkan dari kategori sampah. Sisa potongan sayur adalah sampah, tetapi ketika mereka dimanfaatkan kembali, bisa mengubah nasibnya. Bukan lagi sampah, tetapi berkah. Tetangga Mamah punya mobil mewah baru, tapi parkir sembarangan dan menyusahkan orang mau lewat, nah itu sampah, bukan barang mewah. Saya yakin Mamah punya contoh sampah pada banyak kasus lainnya 😄. Baru paham mengapa sampah dijadikan kata umpatan, sesederhana dan setepat itu ternyata cara penggunaannya.

Definisi sampah dari Ibu Sri Bebassari ini diadopsi oleh semakin banyak orang. Sependek pemahaman saya, maksudnya adalah untuk mendorong masyarakat untuk mau mengelola sampah, tidak hanya jijik lalu tidak mau ada sampah di dekatnya. Di tengah banyak orang sepakat dengan konsep ini, saya pribadi termasuk golongan yang malah jadi agak ngeri. Saya, seperti berjuta orang lainnya, juga masih takut dengan sampah. Meskipun bertahun-tahun mendapat rezeki melalui topik ini, tapi ketika melihat sampah sebagai berkah, yang bagi sebagian besar orang di Indonesia dimaknai sebagai pundi-pundi rupiah, akan menjadi sangat berbeda akhir ceritanya. 

Langsung terbayang lagi cerita tentang mesin pengumpul botol plastik. Setiap memasukkan botol plastik, kita akan mendapatkan poin hadiah yang bisa dikumpulkan dan ditukar menjadi voucher belanja. Bukan hanya memasukkan botol bekas minumannya, ternyata banyak orang yang secara aktif mengumpulkan botol bekas, entah dari manapun. Pilihan lainnya adalah sengaja banyak-banyak minum minuman kemasan, agar punya banyak botol bekas. Memang betul, Indonesia itu lahan subur industri kreatif. Namanya orang Indonesia, ada aja idenya. Kalau sudah begini, bukan sobat pegadaian namanya, menyelesaikan masalah dengan masalah lainnya.  
 

Soal menyerah memilah sampah

Sabar jangan emosi dulu yah, Mah. Saya juga masih mencoba memilah sampah. Apalagi kalau ingat tugas di kantor, dakwah soal pemilahan sampah. Rasanya hidup di dunia ini seperti bermuka dua. hahaha.

Mungkin beberapa Mamah merasakan kondisi sulit saat TPA Leuwi Gajah meledak dan longsor. Banyak TPA lainnya menuju ke nasib yang sama, mah. Karena kapasitasnya sudah tidak cukup lagi, tetapi selama masih ada manusia di bumi, tentu saja sampah terus saja dihasilkan. Untuk itulah sampah harus dihindari sejak dari sumbernya, dan disini peran Mamah sebagai CEO di rumah sangat diperlukan.

Kalau boleh unjuk suara dari hati yang terdalam, sejujurnya saya termasuk yang kurang beriman pada gerakkan memilah sampah. Apalagi setelah ditantang oleh client menghitung impact dari kegiatan memilah sampah yang saya anjurkan. Sungguh sulit jungkir balik sirkus, membuat angkanya menjadi terlihat signifikan. Siapa yang bilang memilah sampah itu mudah. Nooo. Tapi kan memilah sampah itu tidak ada biayanya. Siapa bilaaaaang. Justru effort terbesar, dan terempong dari membangun sistem pengelolaan sampah adalah bagian menggerakkan masyarakatnya.  Sudah lah sulit, setelah memilah, ternyata masih ada ber-ratus ton sampah yang harus ditimbun di TPA setiap harinya mengalir dari rumah-rumah di seluruh kota. Bukan mengecilkan upaya kita, tapi memang kecil sih, Mah 💁.

Terlepas dari pro dan kontra-nya, cara pengelolahan sampah paling jitu, terutama untuk Indonesia (dengan keaneka ragaman industri kreatifnya), untuk saya adalah Insinerator.

Tentu saja cara ini harus dikelola dengan proper yah. Jangan jadi kayak tetangga sebrang komplek saya juga. Meskipun sama-sama pembakaran, yang bakar sampah di kebon sebelah ini bikin bengek. Insinerator seharusnya tidak. Dalam case ini, saya sepakat dengan netijen pengguna mesin botol plastik: memilah sampah untuk mencari berkah. Memilah yang bisa dimanfaatkan untuk menambah pemasukkan. Sisanya, langsung dibakar saja. Dengan operasional proper, sobat pegadaian bisa berkumpul, menyelesaikan masalah tanpa masalah.

Perlu berapa jenis tong sampah?

Sungguh menyulut emosi di jiwa kalau ingin buang sampah di tempatnya, tetapi yang ada di hadapan adalah deretan wadah menyerupai pelangi. Mejikuhibiniu. Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu. Belum lagi labelnya cuma berisi gambar saja, tanpa tulisan keterangan. Apalagi label daur ulang yang segitiga berpanah itu. Menurut saya, artinya adalah wadah untuk plastik atau material-material yang bisa didaur ulang. Pas dibuka, eh isinya sampah basah semua. Ternyata wadah itu untuk sampah organik. Lha, gimana sih.

Sudah lah bukan fans berat pemilahan sampah. Masih harus berjuang memikirkan penggolongan sampah, tentu saja bubar jalan.

Mejikuhibinibu-karena yang terakhir abu-abu, hahaha
sumber: mbizmarket

Saya selalu berpendapat, sepertinya tong sampah itu cukup ada 2 jenis pemilahan. Untuk material yang mungkin masih berguna dan untuk sampah yang sesungguhnya. Kalau untuk di rumah, boleh lah 3 wadah, karena sampah basah masih berpotensi untuk diselamatkan. Jadi ketika datang ke tempat sampah, cukup berpikir, yang mau saya buang ini betul-betul sampah, atau mungkin masih ada gunanya. Apalagi di tempat-tempat umum dengan jumlah sampah besar. Bayangkan apa yang akan terjadi kalau tong sampahnya ada 7. Wadah berlabel daur ulang, sudah pasti isinya mix, antara organik atau plastik, karena ada orang-orang seperti saya, maupun orang-orang berjenis pemikiran berbeda lainnya. 

Mungkin akan lebih mudah kalau jenis tongnya hanya ada 2. Petugas sampah akan mengambil kantong berisi material masih berharga untuk diserahkan ke bandar selanjutnya. Lalu, sisanya, langsung menjadi santapan bergizi bagi insinerator.

Penutup

Begitulah mah, sekelumit cerita semi curcol soal pendapat saya yang tidak populer. Tentunya dihasilkan dari pemahaman saya yang masih minim juga. Kalau menurut Mamah bagaimana?
 

 

4/23/2025

Pamitan: Bentuk Bertahan dalam Perubahan Zaman

"Salim, salim, kita mau pulang. Sini salim dulu sama bude, sama pakde. Itu sama embah belum salim."

Salim, dalam tradisi masyarakat Jawa diasosiasikan dengan mencium tangan. Kebanyakan dilakukan ketika akan pamit. Berpamitan ini terutama dilakukan oleh yang lebih muda ke orang yang lebih tua. Sejak covid melanda, atau bertemu dengan orang-orang yang sedang merokok, saya memodifikasikan tradisi tersebut. Dari salim menjadi salam. Anak-anak tidak perlu mencium tangan, tetapi bisa dengan mengucapkan salam saja. Sejauh ini tidak dapat complain dari para tetua, jadi sepertinya aman. Bagaimana pun bentuknya, tradisi berpamitan ini tetap ada.

Salim, tradisi berpamitan
sumber: https://altsaqafah.id/

Berpamitan ternyata tidak hanya bisa dilihat pada moment casual keluarga, atau pun hanya milik suku bangsa Jawa, tetapi juga menjadi tradisi yang mendunia, antara lain dengan berbalut alasan etika. Tidak hanya pada ranah keluarga, tradisi berpamitan juga muncul pada set up profesional, di saat bekerja. Meskipun tidak diatur oleh pakde bude, atau tetua lainnya, tradisi berpamitan ini cukup sukses berevolusi di ranah korporat tentunya dengan bentuk aplikasi yang beragam. 

Untuk ikut Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan ini, saya ingin berbagi pengalaman tentang bagaimana tradisi berpamitan diaplikasikan oleh berbagai orang, dalam balutan gaya korporat. 




Berpamitan ala tokoh milik sejuta umat

Hampir 10 tahun bekerja di tempat yang sama membuat keisengan saya meningkat pesat. Selain email berisi tumpukan masalah kehidupan, cukup menarik memperhatikan email-email berjudul good bye atau see you again. Biasanya, saya akan melihat siapa yang mengirimkan email tersebut, karena akan menentukan perasaan saat membaca isinya: apakah terlarut dalam sendu, atau sebaliknya.

Saya sering kagum ketika menerima email-email tersebut. Pertama, kagum dengan kata-kata yang dituliskan, kok bisa secantik itu. Kedua, kagum dengan keberanian orang yang mengirimkan email. Seringkali, saya menerima email tersebut karena dikirim ke label "all staff". Tandanya, tanpa harus memilah, email akan otomatis terkirim ke semua staff di perusahaan tempat saya bekerja. Terkirim ke khalayak se-Indonesia Raya saja sudah heboh menurut saya- yang ini terkirim ke seluruh staff di regional Indonesia dan Asia Tenggara. Membuat saya langsung merasa lebih beken dari Raisa kalau melakukan hal yang sama.  

Tak terbayang rasanya kalau sampai saya lebih beken dari Raisa
Sumber: Viva

Kalau sudah begini, menurut analisa saya, ada 2 golongan pengirimnya. Golongan Pertama biasanya orang dengan posisi tinggi yang memang dikenal rakyat sejagat raya. Kepergiannya menimbulkan dampak besar, dan biasanya beberapa bulan sebelumnya sudah ada tweety yang berkicau membahas rencana kepergiannya. Untuk memvalidasi keberpemilikan sosok tersebut, beberapa hari sebelum email official good bye itu dikirim, akan ada semacam undangan berkumpul, potluck, yang diatur sebagai pesta perpisahan. 

Sedangkan, Golongan Kedua, dengan email perpisahan melibatkan penerima sejagad raya lainnya adalah orang-orang yang malas mengetik alamat email satu per satu. Untuk yang ini, tidak ada banyak cerita, hanya sejenak setelah membaca, sebagian besar penerima -termasuk saya- akan berpikir: ini siapa ya?

Berpamitan dengan kebingungan

Kerja berkelompok tentunya menghadirkan dinamika. Ada yang menjadi tulang rusuk, ada yang menjadi gula-gula kapas. Ada juga yang tidak punya peran tersurat tapi menemukan sendiri fungsinya di dalam team dengan bersikap baik, dan syukur-syukur menghibur. Yang seperti ini, biasanya memegang prinsip bila tidak bisa membantu, paling tidak berusaha agar tidak merepotkan. Uniknya, ada juga orang-orang yang diciptakan untuk memegang prinsip sebaliknya. Kalau bisa sulit, mengapa harus mudah.

Begitu juga dengan berpamitan. Tradisi awal salim, yang dalam ranah korporat saya anggap diwakilkan oleh email, ternyata tidak bisa semudah itu diaplikasikan bagi sebagian orang. Bagi beberapa teman yang terjebak dalam kondisi "sulit", mereka akan menciptakan tweet-nya sendiri, tentu untuk mengabarkan rencana kepergiannya. Kicauan ini biasanya sudah beredar 1-3 bulan sebelum tanggal rencana resign. Sering kali, setiap mendekati tanggal resign, ada tweet baru mengabarkan pengunduran waktu resign. Awalnya akan resign di Februari 2024, mundur ke Juni 2024. Lalu hingga September 2024 masih ada saja orangnya. Konon katanya di awal tahun depan beliau akan resign

Bingung dan membingungkan, memang jadi hobi bagi beberapa orang. Jangan sampai jadi tradisi yang dilestarikan. 
sumber: peakpx

Mencoba untuk peduli, biasanya team yang ditinggalkan akan langsung mengatur strategi: bagaimana agar departure personel ini tidak menimbulkan kegaduhan..... dalam tim solid yang selama ini memang solid bekerja tanpa perannya.

Sudah bulan keempat di tahun berikutnya, ternyata tak jadi resign karena belum dapat tempat di posisi lainnya👀. 

Berpamitan dalam diam

Ini pengalaman pribadi, ketika suami harus berpamitan dengan kantor lama, karena laid off. Berbeda dengan pengalaman karyawan Sritex yang bahkan sempat diliput TV dulu sebelum benar-benar resmi berhenti bekerja, suami saya mendapat berita PHK di jam 7 pagi, dan resmi pengangguran per jam 12 di siang harinya.

5 jam tersisa dengan akses identitas untuk membereskan semua file di laptop kantor. Boro-boro kirim email perpisahan, ngabarin istri saja baru bisa setelah kembali bernafas normal di malam harinya. Apalagi ingat istrinya sedang hamil dan bulan depan melahirkan. Dalam kasus ini, tentu saja tidak berlaku salim. Pamitan hanya bisa dilakukan dalam diam.

Berpamitan dengan Sakral

Bekerja, untuk beberapa orang maknanya bukan hanya menyelesaikan pekerjaan dan mendapat bayaran. Ada moment bersama teman yang seringkali menjadi lebih berharga dari sekedar pekerjaan itu sendiri. Apalagi kalau teman ini kumpulan orang yang sudah melewati pahitnya dunia tantangan kehidupan bersama, pamitan jadi bukan sekedar berpindah label, tetapi juga lepas dari teman-teman kesayangan. 

Tipikal golongan ini biasanya tidak perlu berkicau untuk menginfokan rencana kepergiannya. Sebaliknya, orang-orang akan secara aktif alias kepo, menanyakan akan pindah kemana? Atau yang lebih akrab lagi akan bertanya kenapa resign?

Menyusun strategi "life after his/her departure" biasanya tidak akan langsung dilakukan oleh team karena kehidupan seakan berhenti berputar. Saking banyaknya role, tidak akan semudah itu untuk menggantikan posisinya. Alih-alih berpikir cepat, rekan yang ditinggalkan akan merenung agak linglung. Bingung, mau marah pun tak bisa. 

Dalam gamang, berpamitan biasanya dilakukan melalui pertemuan kecil yang disiapkan oleh internal team. Biasanya, isinya, mengharu biru. Nangis-nangis. 

Pada hari terakhir orang ini bekerja, email akan dikirimkan ke anggota team, atau kolega yang merasa akrab. Isinya ditulis dengan hati, mengutarakan perasaan yang semua penerima emailnya bisa relate. Kalau sudah begini, cerita mellow biasanya diakhiri dengan deretan email respon yang senada "You will be missed!"

Penutup

Datang mengetuk pintu, maka pulang pun perlu berpamitan. Unggah-ungguh sebetulnya, kurang yakin juga, apakah termasuk dalam tradisi lokal atau tidak. 

3 minggu lagi saya akan meninggalkan kantor lama. Yang jelas, saya hanya rakyat biasa, yang tidak cukup pede mendapat respon "ini siapa?". Jadi kita lihat saja bagaimana nanti jadinya.